Curhat (?)

     Terlahir menjadi tunggal seringkali terlihat menyenangkan. Tentang perlakuan dimanja orang tua yang mutlak dinikmati sendiri, bisa sesuka hati menguasai barang-barang di rumah tanpa saingan, sampai hal receh seperti tak adanya momen berebut makanan dengan saudara. Namun, akan lain ceritanya jika terlahir menjadi tunggal pada orang tua tunggal. Ya, Bapak meninggal dunia ketika aku berumur 6 tahun di usia 7 tahun pernikahan Bapak dan Ibu. Saat kecil dulu memang aku begitu dimanja, bukan hanya sama Bapak dan Ibu namun juga sama saudara-saudara yang kebetulan saat itu ikut tinggal di rumah kami. Walaupun Bapak juga bukan orang berada, tapi aku merasa tidak kekurangan suatu apapun. Entah apakah dapur Ibu tetap lancar mengepul tiap harinya kala itu, yang jelas aku masih bisa menikmati es krim setiap harinya di saat Bapak pulang kerja.
     Hingga semua nya harus berubah saat Bapak meninggal. Pagi itu beliau berpulang dalam keadaan seperti sedang tidur. Sungguh damai. Meski aku tak di samping nya kala itu, tapi membayangkannya pasti begitu tenang. Beliau masuk rumah sakit malam sebelumnya sekitar jam 23.00 wib dengan diantar Ibu jalan kaki berdua, dan esok hari nya jam 07.00 wib Bapak berpulang. Ahh, tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Ibu saat itu jika menyadari bahwa itu akan menjadi momen jalan berdua dengan kekasih sejatinya untuk terakhir kalinya. Setelah Bapak meninggal, otomatis kehidupan kami berdua berubah. Saudara yang saat itu ikut tinggal bersama kami satu persatu pergi mencari tempat tinggal baru. Ada yang nge-kost dekat kampusnya, tempat kerja nya, dan yang lain ntah kemana. Karena rumah kontrakan kami saat itu harus segera dikosongkan sepeninggal Bapak, maka kami pun ikut tinggal bersama saudara dari Ibu, aku memanggilnya Pakde (meski seharusnya beliau memanggilku Adik karena silsilah keluarga). Seperti 180 derajat diputar karena perbedaan dan cara menjalani kehidupan, rasanya hari-hari awal saat itu terasa berat sekali. Kami yang sebelumnya tinggal di kampung yang notabene selalu ramai, mendadak pindah ke komplek perumahan yang sepi. Dan aku, yang sebelumnya terbiasa serba ada dan dimanja harus mulai belajar untuk mandiri dan serba terbatas di usiaku enam tahun.
     Keluarga Pakde bukanlah gambaran keluarga yang jahat dan otoriter, namun karena posisi nya kami ini numpang tinggal jadi harus tahu diri seperti kata Ibu (di lain kesempatan akan aku ceritakan bagaimana kebaikan Keluarga Pakde dalam hidup kami). Aku yang terbiasa menghabiskan satu buah Apel seorang diri dalam sekali waktu harus mulai membiasakan diri dengan kenyataan satu buah Apel untuk dikupas-dipotong potong-dinikmati orang serumah meski itu bukanlah satu-satu nya Apel yang dimiliki. Bukan karena pelit, tapi memang begitu lah cara mereka (yang saat ini ketika sudah besar ku tau makna nya akan berbagi dan belajar untuk tidak egois, haha). Yang sebelumnya bebas teriak-teriak, nyanyi-nyanyi di kamar mandi, bikin berantakan rumah dengan mainan-mainanku menjadi mustahil dilakukan karena Pakde tidak suka bising dan berisik. Tidak lagi bisa bangun siang sesuka hati, tidak leluasa membawa teman untuk main bersama di rumah apalagi kamar, dan -keterbatasan- yang lain. Pun, dengan waktu bersama Ibu. Tidak sebanyak seperti sebelumnya. Karena di rumah Bude buka usaha Modes dan Ibu sebagai salah satu penjahit nya, sudah bisa dipastikan waktu nya bermain denganku menjadi terbatas. Belum lagi dengan aneka pekerjaan rumah yang lain. Banyak kompromi dan maklum yang harus terus belajar dilakukan setiap hari nya.
     Tak terasa, aku pun tumbuh menjadi pribadi yang berbeda. Bila sebelumnya adalah anak yang ceria, manja, mudah sekali merajuk, kritis, dengan cepat berubah menjadi pendiam, mandiri, suka mengalah, sekaligus perasa. Bahkan hingga di usia ku saat ini. Diam dan sepi adalah keadaan yang membuatku nyaman, tak suka akan hingar bingar keramaian dan segala basa-basi obrolan kehidupan. Aku juga tak suka menjadi dominan, sengaja mundur untuk menghindari konflik daripada harus maju menjadi pusat perhatian. Melihat Ibu berjuang seorang diri membesarkan ku, menjadikan ku sedikit angkuh memandang lawan jenis. Pikirku, jika Ibu saja begitu kuat dan mampu melakukan apa-apa sendiri (bekerja, mendidik, membimbing, membesarkan hingga menjadi seperti sekarang) aku pun juga pasti mampu. Yah, banyak sekali cara orang sekitar dalam memperlakukan dulu yang akhirnya lambat laun membentuk karakter diri ini. Meski tidak bisa dipungkiri masih ada sedikit sisa karakter asli yang masih "menempel" dalam diriku, hahaha. Pendiam, tapi kadangkala bisa berubah menjadi bawel luar biasa pada orang-orang tertentu. Suka mengalah, tapi akan terlihat sangat ngeyel pada hal-hal tertentu. Anti menjadi dominan, namun akan sangat dominan maju membela saat ada yang menyakiti hati Ibu :). Seperti punya kepribadian ganda yang bisa swap sesuai situasi dan kondisi.


Di suatu siang yang kelaparan nunggu jam makan siang, 2019.

Komentar

  1. ����......... Hampir mw mewek ni bacanya, nanggung sih ceritanya. Dtggu klanjutan critanya ya mbak nnaa....��

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langit Senja yang Gelap