Langit Senja yang Gelap

Kisah ini nyata, dengan sedikit bumbu. Nama dan tempat disamarkan.

     Aku sudah cukup lama mengenal nya, sebut saja dia Senja. Pertemanan yang unik menurutku, karena banyak kesamaan di antara kami. Meski sudah cukup lama kita berteman, namun tak sekalipun dia pernah bercerita tentang masa lalu nya. Sebuah cerita kelam. Yang selama ini berusaha dia kubur dalam-dalam. Karena bagi nya, membuka nya kembali hanya membuat luka nya kembali bernanah. Namun, ntah bagaimana, beberapa hari yang lalu kami sampai pada obrolan tentang masa lalu nya. Dengan ditemani dua cangkir gelas kopi -minuman favorit- kami berdua, dia mulai menuturkan kisahnya..

     Semua nya berawal saat aku mulai duduk di bangku sekolah menengah atas. Aku berpacaran dengan seorang cowok, Raja namanya. Ganteng, tinggi, putih, salah satu cowok idaman teman-teman cewek di sekolah. Awalnya kita berpacaran secara sehat, sampai dimana suatu hari kita ditugaskan untuk menjadi pendamping adik-adik junior di ekskul yang kita ikuti. Di luar kota, di dalam tenda, saat hujan deras, untuk pertama kali nya aku menyerahkan sesuatu yang sangat berharga, yang seharusnya kujaga, kepadanya. Kuakui kita berdua memang salah, namun situasi dan kondisi saat itu menjadikan kami tak bisa menahan satu sama lain. Suatu kebodohan yg ku sesali sesudahnya selama berhari-hari. Cukup sekali itu saja kami melakukannya, dan saling mengingatkan satu sama lain untuk tidak mengulangi nya lagi. Sampai akhirnya, di saat kelulusan, kita bertengkar besar saat itu. Ntah, masalahnya apa, aku lupa. Kita tak saling bicara, tak saling komunikasi via telepon lagi, tapi kita belum putus. Aku dan Raja melanjutkan kuliah di kampus yang berbeda. Lambat laun, aku mulai terbiasa tanpa nya meski aku belum bisa melupakannya. Di kampus yg baru, aku berkenalan dengan seorang cowok, namanya Elang. Meski tak setampan Raja, namun dia bisa menarik hatiku. Lama kelamaan kami menjadi dekat, terlebih karena kita satu kelas. Dia berasal dari kota tetangga dan kost di dekat kampus. Hingga pada suatu hari, saat perkuliahan lagi libur, dia mengajak ku ke rumahnya di luar kota. Tak ada firasat buruk saat itu. Singkat cerita sampai lah kita di sebuah rumah. Kukira itu rumah orang tua nya, namun ternyata bukan. Rumah peninggalan nenek nya yang dibiarkan kosong tak ada yang menempati. Dia mulai merayuku, memaksaku, dan berjanji akan bertanggung jawab nanti nya. Sekali lagi, aku tak kuasa menolaknya karena kupikir, toh aku sudah tak suci lagi, begitu juga dengan nya. Setelah dari rumah nenek nya itu, aku di ajaknya ke sebuah rumah yg besar dan mewah. Ternyata, itu rumah orang tua nya. Aku dikenalkan dengan Ayah dan Ibu nya, dan mereka pun menyambutku dengan hangat. 

     Hari demi hari berlalu, aku merasa semakin nyaman dengan Elang. Walau sebenarnya jauh di lubuk hatiku aku masih sangat mencintai Raja. Ntah mengapa, meski secara fisik aku begitu dekat dengan Elang, namun dalam pikiranku selalu terselip sosok Raja. Mungkin karena bagi ku, dia lah cinta pertama. Kuliah ku terjadwal di hari Senin hingga Jum'at. Setiap akhir pekan, Elang pulang ke rumah nya. Hingga tiba saat itu, saat dimana babak pahit dalam hidupku dimulai. Setelah sempat meriang dan pusing selama beberapa hari, di Jum'at malam aku merasa mual yang begitu hebat. Perasaan ku tak karuan dan berpikir yang tidak-tidak. Segera aku membeli testpack, memakai nya, dan rasanya dunia runtuh seketika, badanku lemas saat mengetahui kenyataan bahwa aku hamil. Bingung dan kalut bercampur jadi satu. Aku tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana, rasanya seperti otak ini tak mampu berpikir. Esok hari nya, aku menghubungi Elang dan memintanya menemuiku. Aku tak bercerita kepada nya tentang kehamilanku, aku hanya bilang bahwa aku ingin bertemu. Dia menjanjikan untuk pulang. Sesaat setelah mendapat jawabannya, aku segera pergi ke Terminal. Aku menunggunya dari pagi, sampai sore kutunggu dia tetap tak muncul juga. Nomernya tidak aktif saat kuhubungi, kalut sekali hatiku saat itu. Tiap datang Bus dari kota asalnya aku selalu berdiri dan melihat, berharap ada Elang di kerumunan penumpang yang turun, tapi nihil. Hingga malam, dia tetap tak muncul. Aku tak berani pulang ke rumah, tetap berharap dia menemuiku dan memberi saran apa yang harus dilakukan. Tak ku rasakan mual yang semakin menjadi rasanya, tak peduli juga dengan tatapan orang-orang di sekitar. Keesokan harinya, akhirnya dia datang setelah semalaman aku menunggu nya. Dia kaget dan sempat lari saat melihatku namun untung nya terkejar, padahal dia belum tahu apa yg akan aku bicarakan padanya. Dia menarik tangan ku paksa dan berteriak saat kubilang bahwa aku sedang mengandung. Dia tidak percaya dan bilang tidak mungkin ini anaknya. Demi Tuhan, aku tak pernah melakukan nya dengan orang lain saat bersama nya. Lama kami bersitegang, hingga akhirnya dia mengalah dan mengajak ku menginap di kost temannya sampai kami siap bicara ke orang tua. Karena aku pikir dia akan bertanggung jawab dan merasa kepalang tanggung juga, aku pun setuju ikut dengan nya. Di hari kedua di kost, dia pamit keluar untuk membeli makan. Aku pun tak curiga sama sekali, hingga sampai sore dia tak kembali. Aku hubungi nomer nya pun tak aktif, tetap berpikir positif pasti dia kembali. Namun, hingga tengah malam dia tak pulang juga. Tak pernah kubayangkan bahwa dia se pengecut itu. Esoknya, aku tahu dari temannya bahwa dia pulang ke rumah nya di kota S. Aku menangis sejadi-jadi nya saat itu. Bingung, takut, marah, semua campur jadi satu. Akhirnya kuputuskan pulang ke rumah dan berterus terang kepada Ayah dan Ibu. Mereka marah besar, Ayah menghajar ku dan Ibu memaki ku sambil berteriak. Aku hanya bisa diam karena aku sadar ini memang kesalahan ku. Hal yang hingga detik ini tak pernah bisa kulupakan adalah saat kulihat mata mereka malam itu. Kekecewaan yang begitu dalam terlihat jelas dari sorot mata mereka dan itu membuat ku hancur. Aku memang begitu bodoh telah membuat mereka kecewa, malu, dan hancur. Menghianati kepercayaan mereka dan mencoreng nama baik keluarga. Sungguh bodoh. 

( Cerita sempat terhenti karena Senja menangis. Dia seperti di lihat kan kembali akan keadaan pahit saat itu. )

     Ayah menyuruhku untuk menunggu karena dia yakin Elang akan datang. Hingga satu bulan lama nya, dia tetap tak datang. Aku nekat kabur dari rumah saat itu dan mencari Elang di kampung nya. Mencari ke rumah neneknya, ke rumah orang tuanya, dia pun tak ada. Pun, tak juga aku bisa bertemu dengan orang tua nya karena katanya mereka sedang ada pekerjaan di luar kota. Sesampai nya aku di rumah, Ibu menyuruh untuk kost saja supaya tetangga tak melihat perutku yang makin membesar. Dengan berat hati aku pun menjalaninya, hari demi hari kuhabiskan di kamar kost seorang diri sembari tetap mencari info tentang keberadaan Elang. Siang itu pintu kost diketuk, aku mengira Elang yang datang, namun ternyata bukan. Kaget bukan main saat melihat siapa yang datang, ya, Raja yg berdiri di depan pintu dengan membawa bungkusan besar di tangan nya. Ternyata, Ibu yang bercerita dan memberi tahu tentang keberadaanku kepadanya. Setiap hari Raja datang mengunjungiku, menemaniku, selalu membelikan makanan dan menyemangati ku. Miris rasanya, seharusnya Elang lah yg melakukan ini semua. Waktu terus berjalan, perutku semakin membesar, putus asa rasanya saat itu. Sempat berpikir untuk menuruti apa kata Elang, menggugurkan janin ini, namun hati kecilku berkata jangan. Lagipula dia sudah cukup besar untuk digugurkan. Yang telah kulakukan adalah dosa besar dan aku tak ingin menambah nya lagi dengan perbuatan keji. Setiap malam aku berdoa dan memohon agar aku dapat mengetahui dimana keberadaan Elang, hingga suatu hari seorang teman memberi tahu dimana Elang berada. Sore itu juga aku nekat pergi kesana, padahal perlu waktu hampir 4 jam untuk tiba di kota S. Sampai disana malam, dan akhirnya aku menemukan Elang di rumah orang tua nya. Aku menceritakan yang sebenarnya dan mereka semua kaget. Ibunya memeriksa perutku, Ayah nya tak percaya dan mengira aku berbohong. Bahkan, mereka menuduhku mencemarkan nama baik mereka saat ku ceritakan dimana aku melakukannya bersama Elang. Si pengecut itu tetap tak mau mengakui, bahkan dia tega berkata bahwa aku hanya mengada-ada dan bilang kalau dia tak pernah sekalipun menyentuhku. Ayah nya marah dan melemparku dengan asbak kaca, mengenai kaki ku yang bekasnya ada hingga kini. Aku pun di usir sambil di maki-maki nya. Sakit hati ini melihat semua perlakuan mereka kepada ku, padahal aku sedang mengandung cucu mereka. Aku memohon untuk setidaknya boleh menginap di rumahnya sampai esok pagi karena hari sudah gelap dan angkutan untuk ke terminal pun sudah tidak ada. Tapi, Ayah nya tetap bersikeras mengusirku. Padahal dulu saat awal berkenalan, mereka begitu hangat menyambutku. Tuhan.. sebegitu hinakah aku di mata nya ? Sungguh, aku hanya ingin anak dalam kandungan ku ini diakui, tak lebih. Dengan hati hancur dan nyeri di perut yang aku rasakan, aku beranjak pulang. Saat itu aku begitu takut, dengan jarak antar rumah yang tak rapat, sepi dan sunyi khas pedesaan di kala malam, aku berjalan seorang diri. Aku pasrah. Tak kutemui musholla atau masjid untuk ku beristirahat. Hingga sekitar setengah jam aku berjalan, aku bertemu dengan mobil pick-up yang bersedia memberikan tumpangan ke terminal. Karena di bangku depan sudah terisi penuh, aku pun terpaksa duduk di bak belakang di atas tumpukan jagung. Di dalam perjalanan, sempat terbersit niat ku untuk mengakhiri hidup ini. Terbayang wajah Bapak dan Ibu yang begitu hancur melihat kenyataan ini, harapan mereka begitu besar pada ku, anak satu-satu nya mereka. Bukan kebanggaan dan kebahagiaan yang aku ciptakan, malah kekecewaan dan rasa malu yang aku berikan. Namun, jika mengingat janin ini lagi, rasanya aku tak sampai hati untuk menjadi pembunuh. Tuhan... ku mohon tuntun aku. 
     Sesampainya di kost, aku kaget karena Bapak dan Ibu menunggu ku di luar, ntah sejak kapan mereka datang. Ibu langsung berhambur memeluk ku, sedang kulihat wajah Bapak begitu cemas. Mereka takut aku bunuh diri atau bertindak yang tidak-tidak. Ohh, aku tak kuasa menahan tangis. Dalam hati aku berjanji, aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankan dan memperjuangkan anak ini sampai kapan pun. Setelah menceritakan apa yang telah terjadi, Bapak marah besar. Dia tidak terima akan semua perlakuan keluarga Elang. Keesokan hari nya, kami bertiga kembali lagi ke rumah Elang. Lelah fisik tak ku hiraukan saat itu. Mual dan tak enak badan karena kehamilanku tak kurasa lagi. Aku hanya ingin ini semua segera berlalu, aku hanya ingin anak di kandunganku ini mendapat status yang jelas. Saat sampai di rumah Elang, hal yang kemarin kuterima terulang lagi dan petengkaran pun terjadi. Mereka juga bersikukuh dan lari dari tanggung jawab dengan beralasan bahwa Elang tak bisa ditanyai dan tak tahu dimana keberadaannya, padahal jelas-jelas kemarin dia masih ada di rumah ini. Dengan tak punya hati Ibunya juga berkata pada Ibuku, "Coba ibu tanya sama anaknya, pernah tidur dengan laki-laki mana saja sampai bisa hamil dan ngaku-ngaku kalau itu anaknya Elang!". Hati ini sungguh teriris mendengarnya. Sebelum aku beranjak pulang, kubilang pada Ibunya "Sekarang Ibu boleh tak percaya dan menganggapku wanita hina. Tapi, bisa kupastikan saat anak ini lahir nantinya akan ada sesuatu dari anak ini yang menegaskan bahwa dia adalah benar-benar cucumu. Ibu ingat itu baik-baik!". Kami bertiga pulang dalam diam, tak sepatah kata pun keluar dari mulut kami bertiga selama perjalanan. Ntah apa yang ada dalam pikiran orang tua ku. Aku pun larut dalam pikiran ku sendiri. Sesampainya di rumah, Ibu marah besar dan menyalahkanku. Dia berteriak histeris "Kenapa kamu begitu murah ? Begitu bodoh ? Bahkan sampai laki-laki pun tak mau mengakuimu. Kenapa gak dijual aja biar sekalian dapat duit ? Hah ? Dimana ajaran agama yang Ibu tanamkan dari kecil ? Bapak dan Ibu kerja mati-matian buat agar kamu bisa sekolah tinggi, biar kamu jadi Sarjana, pintar ga bodoh seperti orang tua mu ini. Kenyataan nya sekarang yang ada kamu hanya bisa menaruh tai di muka kami." Ibu pun menangis. Bapak juga menangis. Jangan tanya keadaanku saat itu, karena tak ada yang lebih menyakitkan dari melihat orang yang kusayangi begitu hancur karena kecewa. 
     Satu minggu berlalu, tiba-tiba Elang muncul. Aku yakin, dia datang ke rumah bukan karena sungguh-sunguh ingin bertanggung jawab, dia hanya malu karena semua teman kuliah sudah mendengar kabar ini. Bapak meminta agar Elang mau menikahiku biar anak yang ku kandung ini mendapat status yang jelas, dan dia pun menyanggupi. Aku lega dan bahagia saat itu, mengingat semua kejadian pahit yang telah terjadi. Cepat kami mempersiapkan pernikahan, mengingat kandunganku juga semakin membesar. Tak ada satu pun perwakilan keluarga Elang yang datang saat pernikahan berlangsung. Sehari setelah pernikahan, dia pamit pulang ke rumahnya. Bodohnya aku yang sempat berpikir bahwa dia akan kembali lagi, menemaniku, berada di sisi ku hingga aku melahirkan nanti. Nyatanya, dia tak pernah kembali. Aku menghabiskan waktu seorang diri menunggu hari persalinan. Mendekati hari perkiraan lahir, aku merasakan mulas yang luar biasa. Aku mencoba menghubungi Elang berkali-kali, namun nihil. Saat itu pagi hari, dimana aku merasakan ada yang mengalir di sela kaki ku. Ingin aku menghubungi orang tua, tapi ku urungkan niatku karena ku tahu di jam segitu pasti mereka sudah berangkat kerja. Lagipula rasanya aku sudah terlalu banyak merepotkan mereka. Kupaksa berangkat ke rumah sakit seorang diri. Tak kupedulikan lagi tatapan heran dari orang-orang sekitar, yang ada dalam pikiranku hanyalah ingin secepatnya bertemu dengan buah hati ku. Tak begitu lama prosesnya, Alhadulillah putri ku lahir dengan persalinan normal yang begitu cepat. Dia menangis kencang, sehat, lengkap, sangat cantik dan mirip sekali wajahnya dengan Elang. Aku begitu bahagia dan bersyukur. Tuhan.. terima kasih atas anugerah terindah yang Kau berikan kepadaku ini. Sore harinya, aku menghubungi Ibu mengabarkan bahwa aku sudah melahirkan. Di rumah sakit, kembali Ibu menangis meratapi nasibku "Kok begini sekali nasibmu, Nak. Kenapa ga ngabarin Ibu sama Bapak kalau mau melahirkan. Sendirian berjuang. Ya Allah Gusti naakk..." Bapak pun segera mengadzani putri kecil ku. Tak terbayang perasaanku saat itu. Bahagia dan sedih larut bersama cita dan harapan. Setiap hari setelah kepulanganku dari rumah sakit, Ibu dan Bapak bergantian menemaniku di kost, membantu merawat putri kecilku.
     Beberapa minggu setelah melahirkan, aku nekat membawa putriku pergi ke rumah Elang. Aku berpikir, siapa tahu setelah melihat wajah cantik anaknya dia akan luluh, apalagi mendapati kenyataan bahwa anak ini sangat mirip dengannya. Juga, tak bisa kupungkiri aku pun masih menyimpan hati padanya. Namun, harapanku sirna saat kudapati rumah Elang kosong, tak ada sesiapa di rumah nya. Aku coba menunggu beberapa lama, namun tetap tak ada yang datang. Terpaksa aku pun pulang dengan sia-sia. Di perjalanan mendekati terminal, ntah mengapa aku sangat ingin mengunjungi rumah Neneknya dulu. Aku pun balik dan menuju rumah neneknya. Kaget bercampur senang saat aku melihat ada motor Elang terparkir di depan rumah. Suasana rumah nya begitu sepi dan pintu depan sedikit terbuka. Aku takut jika Elang mendengar suaraku dia akan kabur lagi, aku pun langsung melangkah masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Hingga akhirnya... Lemas badan ini menyaksikan apa yang ada di depan mataku. Terpaku tak percaya dengan apa yang terjadi. Dua pasang manusia sedang terengah-engah tanpa sehelai benang pun di badan mereka. Ya Tuhaaannn... Elang kaget menatapku ada disitu, sementara si perempuan itu sibuk menutupi badan dengan bajunya. Dia memaki ku, mengatakan bahwa pernikahan yang terjadi adalah paksaan orang tua ku dan bukan kemauannya. Aku tak mampu berkata apapun, lidahku terasa kelu menyaksikan semua. Aku segera pergi dari tempat itu. Tak kuhiraukan lagi teriakan makian dari Elang, aku hanya ingin segera menjauh dari mereka. Ya Tuhaann.. aku kira dengan melihat anak ini, dia akan luluh hatinya. Namun kenyataan sebaliknya, bukan hanya memakiku, melihat wajah putrinya saja dia enggan. Ternyata selama ini aku hanyalah pelariannya saja, dan sekarang dia kembali lagi pada mantan pacarnya. Itulah mengapa dia tak mau sedikitpun membela ku, mengakui anak ini. Aku wanita bodoh, sungguh bodoh karena mengharapkannya, percaya bahwa dia akan kembali padaku. Hati ini terlalu sakit menerima semua ini. Singkat cerita, aku pun sampai di kamar kost ku kembali. Ntah apa yang ada di benak ku saat itu. Aku tak ragu untuk mengiris pergelangan tanganku. Baru sedikit darah yang keluar, aku dikagetkan oleh suara tangis anak ku. Aku bingung, sakit hati, lelah dengan semuanya, sekaligus tak tega melihat putri ku. Berdua kita menangis bersama. Semakin kencang anak ku menangis, semakin keras juga aku terisak. Sungguh kacau saat itu. Untungnya, tak lama Ibu datang. Beliau kaget melihat keadaan ku. Akhirnya aku pun kembali pulang ke rumah orang tua ku, karena mereka takut aku menjadi depresi seorang diri. 
     Seminggu kemudian, Elang dan Ibunya datang ke rumah ku. Ibu nya marah besar dan menuduh keluarga ku hanya ingin harta keluarga nya. Ya memang, Elang berasal dari keluarga berada, berbeda dengan ku ini yang berasal dari keluarga sederhana. Ibu nya berkata bahwa pernikahanku tidak sah karena orang tua nya tak diberi tahu. Dengan pengecutnya Elang berkilah, bersembunyi di bawah ketiak Ibunya dia bilang bahwa dia terpaksa menikahiku karena diancam. Ntah laki-laki macam apa dia. Dengan angkuh Ibunya menyodorkan amplop berisi uang untuk biaya putriku dan menyuruhku segera mengurus perceraian. Dan berharap dengan uang itu cukup untuk membuatku tak mengganggu kehidupannya lagi. Dengan marah aku membuka amplop coklat itu, merobek isinya sebagian dan kulempar semua kepadanya sambil berkata "Hei wanita sombong, anda dan anak pengecutmu ini boleh membenciku, silahkan menganggapku buruk, tapi harusnya anda sadar, bahwa anak ini benar-benar keturunanmu. Lihat wajah nya, dia bahkan sangat mirip sekali dengan anakmu. Dan bahkan tanggal lahirnya pun sama. Dan kamu Elang, setelah ini, walaupun kamu datang padaku dengan bersimbah air mata darah sekalipun, jangan harap aku mau memaafkanmu. Aku mampu membesarkan anak ini sendiri tanpa campur tanganmu dan jangan pernah kamu menampakkan diri lagi di depanku." Aku usir mereka pulang, seperti ketika mereka mengusirku dulu. Sejak detik itu aku tutup pintu hatiku untuknya dan berharap aku tak akan pernah melihatnya lagi. Tak mengapa jika dia tak menginginkanku lagi, tapi dengan tak mau mengakui anaknya rasanya sungguh jahat sekali. Apapun dan bagaimanapun keadaannya, ini adalah anak kandung nya, darah daging nya. Belasan tahun telah berlalu, Bunga, yaa.. aku memberinya nama Bunga, dia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan pintar. Di saat tertentu dia bahkan lebih bijaksana daripada aku, walaupun di usianya yang masih belia. Selama ini hanya dua kali dia menanyakan dimana keberadaan ayahnya, dan mengapa dia tak punya ayah seperti teman-teman nya yang lain. Aku sebisa mungkin memberi pengertian yang mudah dipahaminya, syukurlah dia bisa mengerti sejauh ini. Sering ku menatap nya saat ia tertidur lelap di malam hari dan berjanji suatu saat akan menceritakan semua kepadanya, karena bagaimanapun dia berhak tahu yang sebenarnya. Aku juga selalu berdoa pada Tuhan, agar Bunga selalu hidup bahagia meski tak ada sosok Ayah kandungnya di perjalanan hidupnya.

"Ya begitulah cerita kelam ku, Na" kata Senja.
"Aku benar-benar tak menyangka bahwa kamu setangguh itu. Bahkan, rasa-rasanya aku pun tak akan sanggup jika berada di posisi mu" ucapku.
"Aku tak pernah bercerita pada siapa pun, kecuali padamu saat ini. Karena bagi banyak orang apa yang terjadi padaku adalah karma dari kesalahan yang sudah kulakukan. Aku akui aku memang salah, tapi dengan membiarkan Bunga terlahir ke dunia ini adalah caraku untuk menebus semua salah yang telah ku lakukan. Dia bukan anak haram seperti yang dikatakan banyak orang. Perbuatan orang tua nya lah yang haram, bukan dia" imbuhnya.
"Lalu bagaimana kamu membesarkannya selama ini ?" tanyaku pada Senja.
"Ceritanya panjang, Na. Dan tak kalah kelam dari ini. Aku melakukan pekerjaan apapun bukan saja karena untuk menghidupi Bunga. Aku melakukannya juga karena benci ku pada yang namanya laki-laki. Dan itu kulakukan selama bertahun-tahun" ucap Senja.

Bersambung....

     Cerita ini aku tulis setelah mendapat persetujuan dari Senja. Karena dia pun juga ingin ada pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan hidupnya yang pernah salah langkah. Aku tidak membenarkan apa yang telah terjadi pada nya adalah sebuah kebanggaan yang pantas dipublikasikan. Aku hanya melihat nya dari sudut pandang yang berbeda. Bahwa setiap manusia hidup dengan kesalahan juga perjuangannya masing-masing. Kuharap, simpan dalam hati makian kalian untuknya, karena tanpa kalian ucapkan pun, dia telah hidup dalam kubangan penyesalan yang teramat dalam.



Suatu siang yang terik, ditemani segelas es cincau, 2019.




Komentar

  1. Balasan
    1. karena ini sudah terlalu panjang ๐Ÿ˜ƒ

      Hapus
  2. luar biasa....gk sabar tunggu kelanjutannya๐Ÿ˜

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe.. Terima kasih sudah membaca ๐Ÿ™

      Hapus
  3. Kapan nih mba nana kelanjutan nya...aku tunggu ya ๐Ÿ˜˜

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ditunggu ya ๐Ÿ˜ƒ Terima kasih sudah membaca ๐Ÿ™

      Hapus

Posting Komentar